Minggu, 30 Juni 2013

Keterkaitan Abnormalitas dengan Konsep Motivasi, Stress, dan Gender

Ø  Definisi Abnormalitas
Abnormalitas dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaknormalan yang dilihat oleh seorang yang normal. Atau dalam kata lain, abnormalitas merupakan suatu keanehan yang terjadi di lingkungan orang-orang normal. Abnormalitas dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika kita melihat seseorang dengan gangguan jiwa. Mengapa kita menganggapnya sebagai suatu yang abnormal? Karena kita merasa diri kita tidak melakukan atau bertindak seperti yang mereka lakukan.
Ø  Dimensi Abnormalitas
Abnormalitas disebabkan oleh tiga dimensi, yaitu:
·      Penyebab Biologis
Dalam usaha memahami penyebab perilaku abnormal, para ahli kesehatan mental dengan hati-hati mengevaluasi apa yang terjadi di tubuh seseorang yang dapat dihubungkan ke warisan genetis atau gangguan fungsi fisik. Sebagai komponen rutin dalam setiap evaluasi, Dr.Tobin melakukan penilaian sampai sejauh mana masalah yang kelihatannya disebabkan secara emosional dapat dijelaskan dalam kerangka determinan biologis. Memahami peran faktor biologis sebagai penyebab penting juga membuat Dr.Tobin mewaspadai fakta bahwa ia mungkin perlu menggabungkan komponen biologis seperti obat – obatan dalam intervensinya. Sebagaimana terdapat pada banyak gangguan medis, berbagai gangguan psikologis terjadi di keluarga. Gangguan depresi mayor merupakan salah satu dari gangguan-gangguan ini. Seorang anak lelaki atau perempuan dari orang tua yang menderita depresi, secara statistik memiliki kemungkinan mengalami depresi yang lebih besar daripada mereka yang orangtuanya tidak menderita depresi. Sebagai tambahan dalam menjelaskan peran faktor genetis, paran klinisi juga mempertimbangkan bahwa perilaku abnormal mungkin saja merupakan akibat dari gangguan fungsi fisik. Gangguan semacam itu dapat muncul dari berbagai sumber, seperti kondisi medis, kerusakan otak, atau paparan jenis stimulan tertentu di lingkungan. Banyak kondisi medis yang dapat menyebabkan seseorang merasa dan bertindak abnormal. Sebagai contoh, abnormalitas medis di kelenjar tiroid dapat menyebabkan rentang kondisi mood dan emosi yang beragam. Kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma kepala meskipun ringan, dapat mengakibatkan perilaku aneh dan perubahan emosi yang intens. Sama halnya dengan pencernaan zat-zat, baik obat terlarang maupun pengobatan yang diizinkan, dapat mengakibatkan perubahan emosi dan perilaku yang menyerupai gangguan psikologis. Bahkan, paparan stimulan lingkungan seperti zat beracun atau zat penyebab alergi dapat menyebabkan seseorang mengalami perubahan emosi dan perilaku yang mengganggu.
·         Penyebab Psikologis
Jika faktor biologis dapat memberikan semua jawaban, maka kita akan menganggap gangguan mental sebagai penyakit medis. Sesungguhnya, hal ini tidak hanya sekedar itu saja. Gangguan umumnya muncul sebagai akibat pengalaman hidup yang bermasalah. Mungkin sebuah peristiwa satu jam yang lalu, tahun lalu, atau saat ini dalam hidup seseorang telah meninggalkan bekas yang menyebabkan perubahan dramatis pada perasaan atau perilaku. Misalnya, komentar merendahkan dari seorang profesor dapat meninggalkan perasaan terluka pada seorang mahasiswa dan menyebabkan depresi selama berhari-hari. Kekecewaan dalam hubungan asmara dapat menimbulkan respons emosional yang intens selama berbulan-bulan. Sebuah trauma yang terjadi bertahun-tahun yang lalu dapat terus memperngaruhi pikiran, perilaku, dan bahkan mimpi seseorang. Pengalaman hidup juga berkontribusi terhadap gangguan dapat menyebabkan individu membentuk asosiasi negatif terhadap stimulus tertentu. Sebagai contoh, kekuatan irasional pada ruangan sempit mungkin muncul karena pernah terjebak di dalam elevator. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi penyebab psikologis pada abnormalitas, para ilmuwan sosial dan klinisi mempertimbangkan pengalaman hidup seseorang. Sebagian besar pengalaman tersebut bersifat interpersonal-kejadian-kejadian yang terjadi karena interaksi dengan orang lain. Namun, orang juga memiliki pengalaman intrapsikis, pengalaman yang terjadi di dalam pikiran dan perasaannya. Masalah-masalah emosional dapat muncul dari persepsi yang terdistorsi dan cara berpikir yang salah.
·         Penyebab Sosiokultural
Siapa diri kita sebagian besar ditentukan oleh interaksi interpersonal yang terjadi di lingkaran pusat kehidupan kita. Istilah sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran pengaruh sosial dalam hidup seseorang. Sebagian besar lingkaran tengah terdiri dari orang-orang yang paling sering berinteraksi dengan kita di tingkat lokal. Bagi mahasiswa perguruan tinggi, orang-orang ini bisa jadi teman sekamar, rekan kerja, dan teman sekelas yang mereka temui secara teratur. Lingkaran yang lebih luar dari lingkaran tengah adalah mereka yang mendiami lingkaran hubungan yang lebih luas, seperti anggota keluarga di rumah atau teman-teman di sekolah menengah atas. Lingkaran ketiga terdiri dari orang-orang di lingkungan kita yang hanya berinteraksi dengan kita secara minimal dan kurang kita kenal namanya, mungkin penghuni komunitas kita atau kampus yang standarnya, harapannya, dan perilakunya mempengaruhi hidup kita. Lingkaran sosial keempat adalah budaya yang lebih luas, tempat kita hidup seperti masyarakat Amerika. Abnormalitas, dapat pula disebabkan oleh kejadian-kejadian pada salah satu atau keseluruhan konteks sosial tersebut. Hubungan yang bermasalah dengan teman sekamar atau anggota keluarga dapat mengakibatkan seseorang merasa sangat tertekan. Hubungan asmara yang gagal dapat menyebabkan depresi yang memungkinkan tindakan bunuh diri. Keterlibatan dalam hubungan yang mengandung kekerasan dapat menyebabkan gaya interpersonal ketika orang yang mengalami kekerasan berulang kali terjerat hubungan dengan orang yang suka menyakiti dan merusak. Dibesarkan oleh orang tua yang sadis dapat pula menyebabkan seseorang membangun pola hubungan yang dicirikan dengan kontrol dan luka emosional. Huru-hara politik, bahkan pada level yang relatif lokal, dapat memunculkan emosi dari kecemasan yang mengganggu hingga ketakutan yang tak tertahankan. Bagi beberapa orang, penyebab abnormalitas lebih luas, mungkin bersifat kultural atau sosial. Misalnya, pengalaman diskriminasi memiliki pengaruh yang besar terhadap seseorang dari kelompok minoritas, baik menyangkut ras, budaya, orientasi seksual atau kecacatan.
Ø  Keterkaitan Abnormalitas dengan Konsep Motivasi
Konsep motivasi merupakan konsep yang dimiliki setiap individu. Konsep motivasi ini berarti suatu konsep dalam diri yang berupa dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan antara abnormalitas itu sendiri dengan konsep motivasi sebenarnya tergantung pada sudut pandang yang kita pilih untuk menjelaskannya. Abnormalitas seseorang bisa saja mempengaruhi konsep motivasinya. Seorang yang abnormal berarti memiliki suatu kelainan di mata masyarakat umum. Kelainan ini membuat dirinya tidak dapat berfungsi secara optimal atau dikatakan “tidak sehat”. Seseorang yang tidak sehat tentu saja tidak mampu memenuhi tuntutan lingkungan atau tuntutan hidup, misalnya memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan atas penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri seperti yang diungkapkan dalam hirarki kebutuhan Maslow. Sedangkan kelima kebutuhan tersebut berkaitan erat dengan motivasi individu dalam kehidupan. Maka, seorang yang abnormal  dapat dikatakan memiliki konsep motivasi yang menyimpang dari apa yang dialami oleh seorang yang normal. Bahkan bisa saja konsep motivasi dirinya tidak lagi berkiblat pada hal-hal yang positif, dan malah menjurus pada hal-hal yang merugikan dirinya sendiri.
Ø  Keterkaitan Abnormalitas dengan Stress
Seseorang yang mengalami abnormalitas dapat disebabkan oleh stress, dan sebaliknya stress dapat disebabkan oleh abnormalitas. Hal ini berkaitan dengan penyebab sosiokultural. Seseorang bisa saja mengalami abnormalitas, seperti trauma atau depresi karena sebelumnya mengalami stress yang berkepanjangan. Saat dia mengalami tekanan dalam dirinya atau dihadapkan pada suatu tekanan dari lingkungan sosialnya dan tidak bisa menghadapi atau mengontrol dirinya, maka hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya abnormalitas seperti depresi atau skizofrenia. Sebaliknya, seseorang yang memang abnormal yang membuatnya tidak diterima di lingkungannya atau disisihkan menyebabkan ia mengalami stress dan pada akhirnya mungkin saja menambah dan memperparah abnormalitas orang tersebut.
Ø  Keterkaitan Abnormalitas dengan Gender
Banyak sekali kasus-kasus abnormalitas yang kita temui atau kita ketahui. Faktanya, kasus abnormalitas tersebut banyak terjadi pada kaum pria. Misalnya saja ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder), menurut penelitian Breton yang dilakukan pada 1999, ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan, dengan estimasi 2-4% untuk anak perempuan dan 6-9% untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun. Selanjutnya Asperger Syndrome yang merupakan gejala autisme, Berdasarkan perkiraan yang dikutip situs webmd.com, sindrom ini dialami oleh 0,024 hingga 0,36 persen dari anak-anak. Gangguan ini lebih umum dialami laki-laki dibandingkan perempuan dan biasanya terdiagnosis saat anak berusia antara dua dan enam tahun. Berdasarkan fakta-fakta tersebut umumnya laki-laki lebih banyak mengalami abnormalitas dibanding wanita. Hal ini dapat dijelaskan secara biologis, dimana terdapat perbedaan kromosom dan susunan genetik antara laki-laki dan perempuan yang memungkinkan laki-laki lebih banyak mewarisi abnormalitas secara genetik dibandingkan dengan perempuan. Selain itu kasus lain adalah mengenai bunuh diri yang banyak terjadi, tidak hanya di negara berkembang namun juga di negara-negara maju seperti Amerika. Faktanya lebih banyak pria mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dibandingkan dengan wanita. Jika dijelaskan dengan pendekatan sosiokultural, tuntutan lingkungan/masyarakat terhadap seorang pria jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal ini mengakibatkan banyak pria merasa gagal untuk memenuhi tuntutan tersebut dan mengalami depresi yang berujung pada bunuh diri.

Sumber:
Halgin, Richard P., Whitbourne, Susan Krauss. (2009). Abnormal Psychology: Clinical Perspectives on Psychological Disorders, 6thed. New York:  McGraw Hill.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar